Kota Ramah Anak

APAKAH KOTA RAMAH ANAK?

Sejarah
Gagasan Kota Ramah Anak (KRA) diawali dengan penelitian mengenai “Children’s Perception of the Environment” oleh Kevin Lynch (arsitek dari Massachusetts Institute of Technology) di 4 kota – Melbourne, Warsawa, Salta, dan Mexico City – tahun 1971-1975. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lingkungan kota yang terbaik untuk anak adalah yang mempunyai komuniti yang kuat secara fisik dan sosial; komuniti yang mempunyai aturan yang jelas dan tegas; yang memberi kesempatan pada anak; dan fasilitas pendidikan yang memberi kesempatan anak untuk mempelajari dan menyelidiki lingkungan dan dunia mereka. Penelitian tersebut dilakukan dalam rangka program Growing Up In Cities (GUIC) – tumbuh kembang di perkotaan – yang disponsori oleh UNESCO. Salah satu tujuan GUIC adalah mendokumentasikan persepsi dan prioritas anak, sebagai basis program peran serta, bagi perbaikan kota. Hasil penelitian ini telah dipublikasikan oleh UNESCO dan MIT Press dengan judul “Growing Up In Cities” 1977.
Pada perkembangan selanjutnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Konvensi Hak Anak pada tahun 1989, dengan memasukan salah satu ketentuan mengenai hak anak untuk mengekspresikan pendapatnya. Ini artinya anak mempunyai suara, di samping prinsip lain seperti non-diskriminasi; kepentingan terbaik untuk anak; dan hak untuk hidup dan mengembangkan diri.
Pada KTT Bumi di Rio de Janeiro 1992, para kepala pemerintahan dari seluruh dunia menyepakati prinsip-prinsip Agenda 21 yaitu Program Aksi untuk Pembangunan Berkelanjutan. Bab 25 Agenda 21 menyatakan bahwa, anak dan remaja sebagai salah satu Major Group – Kelompok Utama – yang dilibatkan untuk melindungi lingkungan dan kegiatan masyarakat yang sesuai dan berkelanjutan. Bab 28 Agenda 21 juga menjadi rujukan bahwa, remaja berperan serta dalam pengelolaan lingkungan. Akan tetapi yang paling mendesak adalah agar pemerintah kota melibatkan warga dalam proses konsultasi untuk mencapai konsensus pada “Agenda 21 Lokal,” dan mendorong pemerintah kota menjamin bahwa anak, remaja, dan perempuan terlibat dalam proses pembuatan keputusan, perencanaan, dan pelaksanaan.
Setelah 25 tahun, hasil penelitian Kevin Lynch ditinjau kembali, dan dilakukan penelitian serupa oleh Dr Louise Chawla dari the Children and Environment Program of the Norwegian Centre for Child Research - Trondheim, Norwegia tahun 1994-1995. Penelitian yang disponsori oleh UNESCO dan Child Watch International, dilakukan di Buenos Aires dan Salta, Argentina; Melbourne, Australia; Northampton, Inggris; Bangalore, India; Trondheim, Norwegia; Warsawa, Polandia; Johannesburg, Afrika Selatan; dan Oaklands, California, Amerika Serikat. Hasil penelitian ini menjadi indikator bagi UNICEF dalam mengawasi pemenuhan hak anak di kota sebagai bagian dari Child Friendly City Initiative untuk pemerintah kota.
Pada Konferensi Habitat II atau City Summit, di Istanbul, Turki tahun 1996, perwakilan pemerintah dari seluruh dunia bertemu dan menandatangani Agenda Habitat, yakni sebuah Program Aksi untuk Membuat Permukiman lebih nyaman untuk ditempati dan berkelanjutan. Paragraf 13 dari pembukaan Agenda Habitat, secara khusus menegaskan bahwa anak dan remaja harus mempunyai tempat tinggal yang layak; terlibat dalam proses mengambilan keputusan, baik di kota maupun di komuniti; terpenuhi kebutuhan dan peran anak dalam bermain di komunitinya. Melalui City Summit itu, UNICEF dan UNHABITAT memperkenalkan Child Friendly City Initiative, terutama menyentuh anak kota, khususnya yang miskin dan yang terpinggirkan dari pelayanan dasar dan perlindungan untuk menjamin hak dasar mereka.
Pada UN Special Session on Children, Mei 2002, para walikota menegaskan komitmen mereka untuk aktif menyuarakan hak anak, pada pertemuan tersebut mereka juga merekomendasikan kepada walikota seluruh dunia untuk:
1. mengembangkan rencana aksi untuk kota mereka menjadi Kota Ramah dan melindungi hak anak,
2. mempromosikan peran serta anak sebagai aktor perubah dalam proses pembuatan keputusan di kota mereka terutama dalam proses pelaksanaan dan evaluasi kebijakan pemerintah kota.
Upaya UNICEF dan UNHABITAT ini terus menerus dipromosikan ke seluruh dunia dengan upaya meningkatkan kemampuan penguasa lokal (UN Special Session on Children, 2002).
Pada World Summit on Sustainable Development di Johannesburg, Afrika Selatan tahun 2002, para pemimpin negara dari seluruh dunia antara lain menyepakati untuk mewujudkan perbaikan yang signifikan pada kehidupan bagi sedikitnya 100 juta masyarakat penghuni kawasan kumuh, seperti yang diusulkan dalam prakarsa “Kota tanpa Permukiman Kumuh” (Cities without Slums) pada tahun 2020. Hal ini mencakup tindakan pada semua tingkatan untuk:
1. meningkatkan akses pada tanah dan properti, permukiman yang memadai dengan pelayanan dasar bagi masyarakat miskin di perkotaan dengan perhatian khusus pada kepala rumah tangga perempuan;
2. mendukung otoritas lokal dalam menjabarkan program perbaikan daerah kumuh dalam kerangka rencana pengembangan perkotaan dan mempermudah akses, khususnya bagi masyarakat miskin, pada informasi mengenai peraturan tentang perumahan.
Kota dengan Konsep Kota Ramah Anak
Philippines
Philippines memperkenalkan Program Kota Ramah Anak di 20 provinsi dan 5 kota – Pasay City, Manila, Quezon City, Cebu City, dan Davao City tahun 1999. Program ini diawali dengan penelitian mengenai anak-anak kota yang menderita di 4 kota, 1990-1992. Program tersebut dipercepat dengan inisiatif Walikota Pembela Anak (Mayors as Defender of Children), 1992 dan Liga Kota mengeluarkan “Philippines Declaration of Commitment to Children,” 1993.
Program Kota Ramah Anak memperoleh sambutan yang hangat, karena sebelumnya warga kota telah memperoleh pengetahuan mengenai program “Pelayanan Dasar Kota.” Program tersebut telah memperkuat organisasi dan peran serta komuniti, perencanaan dan program yang multi agen dan multi sektor dalam pengembangan kota-kota miskin. Advokasi dan kemampuan organisasi juga meningkat. Modal ini kemudian dimanfaatkan oleh UNICEF untuk mentransformasikan Konvensi Hak Anak dari kerangka kerja yang legal ke dalam sebuah rumusan yang baik berupa Child Friendly Movement secara nasional, meliputi keluarga, komuniti, pemerintah daerah dan pusat, dan sektor swasta. Gerakan ini bertujuan untuk menentukan dan mengawasi komuniti, sekolah, fasilitas kesehatan, tempat kerja, komuniti agama, kota, dan provinsi yang ramah anak. Gerakan ini menghubungkan tiga komponen, yakni:
1. komunikasi;
2. kebijakan daerah dan institusi pembangunan; dan
3. pendukung program strategi di bidang kesehatan, gizi, pendidikan, perlindungan anak, dan gender.
Program Kota Ramah di kota-kota Philippines secara khusus bertujuan untuk:
1. memaksimumkan peran kepemimpinan walikota;
2. meningkatkan pendidikan umum dan penyuluhan visi baru untuk anak;
3. merumuskan rencana pembangunan kota untuk anak;
4. menganalisis situasi terus menerus untuk advokasi, program, dan pengawasan; laporan tahunan negara dari kota anak;
5. membangun kemitraan dan memperluas aliansi untuk anak;
6. memperdayakan keluarga melalui organisasi komuniti dan organisasi pembangunan;
7. memperkuat jaringan dan sistem untuk anak dalam kebutuhan perlindungan khusus; dan
8. memperkuat legislatif dan penegak hukum.

Australia
Queensland merupakan salah satu kota di Australia yang telah mengadopsi konsep “Kota Ramah Anak.” Pemerintah kota Queensland membentuk komisi anak dan remaja pada tahun 2000. Komisi tersebut mempromosikan komuniti ramah anak melalui fungsi utama yang sesuai dengan Undang Undang Komisi Anak dan Remaja 2000 meliputi:
1. advokasi untuk memberikan perlindungan hak, perhatian, dan kesejahteraan anak dan remaja yang berusia di bawah 18 tahun;
2. administrasi negara agar bersedia mengadvokasi dan memberikan pelayanan untuk anak dan remaja yang berada di pusat penahanan;
3. menerima, melihat persoalan, dan menyelidiki keluhan mengenai pembagian pelayanan yang disediakan untuk anak dan remaja;
4. mengawasi dan mereview hukum, kebijakan, dan praktik yang terkait dengan pemberian pelayanan untuk anak dan remaja, atau yang berdampak kepada mereka; dan
5. memimpin dan mengkoordinir penelitian yang terkait dengan masalah yang berdampak pada anak.
Komisi ini secara khusus mengembangkan sebuah kegiatan untuk anak dengan lembaga non pemerintah yang bersedia menjadi penasehat praktik-praktik dan kebijakan yang menjamin kesesuaian kegiatan dengan anak; mengorganisasikan “Parlemen Remaja”; dan mempublikasikan cetak biru dari sebuah Persemakmuran Ramah Anak dan Remaja.

India
Calcutta merupakan salah satu kota di India yang mengadopsi konsep Kota Ramah Anak. Program ini berfokus pada Program Aksi tingkat kota untuk Anak Jalanan dan Pekerja Anak (City Level Program of Action for Street and Working Children – CLPOA). CLPOA beroperasi melalui 6 titik komite yang dikoordinir oleh badan pusat yang beranggotakan perusahaan, departemen pemerintah (kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial, buruh, dan lain-lain), polisi, komisi hak asasi, UNICEF, British Council, asosiasi dokter, dan 50 lembaga non pemerintah. Kegiatan CLPOA meliputi pendidikan dasar, kesehatan, penasehat hukum, peningkatan sumber pendapatan, pelatihan, dan konseling. Program ini ditujukan kepada pekerja anak, anak jalanan, pekerja seks anak, dan perdagangan anak. Fokus kegiatannya adalah pelayanan dasar, perlindungan hak anak, penyuluhan, dan advokasi.
Ada dua contoh inovasi dari aksi CLPOA:
1. Polisi Ramah Anak
Di bawah inisiatif CLPOA, Polisi Calcutta telah mengadopsi rencana perlindungan anak. Rencana ini merupakan kegiatan antara polisi dan lembaga non pemerintah yang menangani anak jalanan. Melalui program ini polisi dapat menangani permasalahan anak, khususnya anak yang tinggal di jalanan.
2. Pendidikan untuk semua Anak Calcutta
Program Shishalaya Prakalpa merupakan program yang menekankan pembangunan dasar untuk anak. Program yang didesain untuk mencapai strategi mentransformasikan pendidikan agar masuk ke dalam sistem kota ini berambisi untuk mendaftarkan semua anak Calcutta di sekolah reguler. Dengan kemitraannya yang luas terutama dengan pihak swasta, didukung pemerintah India, UNICEF dan adanya kegiatan fundraising, maka program pendidikan seperti ini dapat segera terwujud;

Bangladesh
Di kota Rajashahi, Bangladesh, program Kota Ramah Anak mengutamakan kampanye pencatatan kelahiran untuk menjamin keefektifan dalam membangun Gerakan Ramah Anak dan Hak Anak. Pada tahun 1997, pemerintah kota melakukan kampanye pencatatan kelahiran untuk semua anak di bawah 5 tahun dari pintu ke pintu. Program ini berhasil mendaftarkan 38.000 anak setiap minggu, dan dengan sebuah sistem baru dalam pendaftaran kelahiran menjadi pengantar dalam menetapkan tugas baru untuk departemen kesehatan anak.

Brazil
Porto Alegre merupakan salah satu kota di Brazil yang mengadopsi konsep Kota Ramah Anak. Program di kota Porto Alegre terfokus pada peran serta warga dalam penyusunan anggaran belanja. Program ini diperkenalkan tahun 1989. Melalui program ini, Porto Alegre dikenal secara nasional dan internasional sebagai kota yang meningkatkan kualitas hidup anak, yaitu dengan keberhasilannya menurunkan angka kematian dari 20 menjadi 12 per 1.000 kelahiran hidup selama sepuluh tahun terakhir. Strategi ini sekarang diimplementasikan di 200 kota di Brazil. Hal ini merupakan prestasi dalam pemberian akses pelayanan sosial dasar kepada anak. Dua tahun yang lalu (2002), proses peran serta penyusunan anggaran berhasil dilaksanakan dengan melibatkan 10 juta warga kota di 497 kota.
Demonstrasi peran serta penyusunan anggaran dapat dilaksanakan dalam skala regional atau nasional. Gerakan ini merupakan pendekatan dari tradisional ke keterlibatan warga merupakan kombinasi demokrasi perwakilan (melalui pemilu) dan demokrasi langsung (melalui peran serta warga sipil). Sehingga pengambilan keputusan tidak hanya menjadi monopoli legislatif atau eksekutif, tetapi berbagi dengan warga sipil.

Catatan
1. Walaupun pendekatan yang diterapkan oleh kota-kota di beberapa negara seperti Philippines, Australia, India, Bangladesh, dan Brazil mempunyai perbedaan dan ciri khas masing-masing, akan tetapi menurut Marta Santos Pais dari UNICEF Innocenti Centre, Florence, tujuan mereka adalah satu, yaitu melakukan perubahan kepada warga dalam komuniti yang inklusif untuk anak, dan mengakui bahwa suatu kota yang ramah kepada anak adalah kota yang ramah kepada seluruh anggota komuniti yang lain (UN-Special Session on Children, 2002).
2. Keterlibatan anak dalam suatu inisiatif global peran serta anak bukan merupakan ancaman bagi orang dewasa. Peran serta anak dalam proses pengambilan keputusan di tingkat lokal, memberi kesempatan kepada anak untuk belajar menumbuhkan rasa memiliki warga dan melatih hak dan tanggungjawab mereka.

Pengertian
Kota Ramah Anak menurut UNICEF Innocenti Reseach Centre adalah kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Sebagai warga kota, berarti anak:
1. keputusannya mempengaruhi kotanya;
2. mengekspresikan pendapat mereka tentang kota yang mereka inginkan;
3. dapat berperan serta dalam kehidupan keluarga, komuniti, dan sosial;
4. menerima pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan;
5. mendapatkan air minum segar dan mempunyai akses terhadap sanitasi yang baik;
6. terlindungi dari eksploitasi, kekejaman, dan perlakuan salah;
7. aman berjalan di jalan;
8. bertemu dan bermain dengan temannya;
9. mempunyai ruang hijau untuk tanaman dan hewan;
10. hidup di lingkungan yang bebas polusi;
11. berperan serta dalam kegiatan budaya dan sosial; dan
12. setiap warga secara seimbang dapat mengakses setiap pelayanan, tanpa memperhatikan suku bangsa, agama, kekayaan, gender, dan kecacatan.


MENGAPA PERLU KOTA RAMAH ANAK?
Kondisi Kota
Sekarang ini, menurut Perserikatan Bangsa Bangsa setengah dari penduduk dunia – 6 miliyar penduduk – tinggal di kota (Christencen, 2003:xv). Kehidupan kota banyak menghadirkan kesempatan, karena di dalamnya terpusat berbagai jenis pelayanan, jaringan dan sumber daya. Perkembangan dan pertumbuhan kota dan industri yang kurang terencana, menurut Dr. Uton Muchtar Rafei, Direktur WHO untuk Kawasan Asia Tenggara, telah menambah resiko baru untuk kesehatan anak. Belakangan ini, banyak penyakit yang diderita oleh anak, berkait erat dengan lingkungan tempat mereka tinggal, belajar, dan bermain – rumah, sekolah dan komuniti mereka.
Anak merupakan bagian dari warga kota. PBB memperkirakan pada tahun 2025, 60 persen anak tinggal di kota. Menurut David Sucher perancang kota dari Amerika Serikat (David, 1995:65), anak seperti burung kenari di tambang batu bara. Mereka kecil, rentan dan butuh perlindungan. Akan tetapi sebagian besar dari jutaan anak yang hidup di kota belum merasa tenang dan nyaman melakukan kegiatan sehari-hari seperti bersekolah, bermain, dan berekreasi, terutama mereka yang tinggal di daerah kumuh dan permukiman liar yang padat, dan perumahan yang kurang sehat serta kurang mendapatkan pelayanan umum seperti fasilitas air bersih, sanitasi dan pembuangan sampah.
Kondisi lain menggambarkan keterbatasan akses ke pelayanan kebutuhan dasar anak seperti kesehatan, pendidikan, bermain, rekreasi, kenyamanan menggunakan jalan, dan pedestrian. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan dan anggaran pemerintah kota di bidang anak belum menjadi prioritas dan masih terbatas.
Perwujudan kota yang tenang dan nyaman bagi anak dan penghuni kota lainnya membutuhkan proses panjang, dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi pembangunan kota. Pada tiap tahapan, diharapkan ada keseimbangan antara keterlibatan pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan. Misalnya pemerintah tidak dominan dalam proses perencanaan. Pada tahap perencanaan, pendekatan bawah-atas lebih diutamakan dalam pencarian kebutuhan, dibandingkan pendekatan atas-bawah. Begitu pula dengan tahap selanjutnya, masyarakat tetap dilibatkan, sehingga proses tersebut memperoleh legitimasi dan dukungan masyarakat.
Dalam proses pembangunan, peran anak-anak sebagai calon pemimpin bangsa perlu diperhatikan. Peran apa yang diberikan kepada anak dalam kaitannya dengan lingkungan kota? Sebagai pengguna atau pelayan, warga aktif atau warga pasif? Bagaimana anak mempunyai andil di tiap tahap proses pembangunan? Porsi apa yang diberikan kepada anak dalam pembangunan kota? Pernyataan tersebut bermakna bahwa anak mempunyai hak pada tiap proses pembangunan. Hal ini menarik, namun harus dibedakan kelompok anak mana yang dimaksud. Apakah anak pada masa usia 2 tahun, masa usia 3-5 tahun, masa usia 6-12 tahun, masa usia 13-15 tahun, atau masa usia 16-18 tahun?
Pada penelitian tentang ”Persepsi Anak Mengenai Lingkungan Kota” yang dilakukan oleh Hamid Patilima (Hamid, 2004) disimpulkan bahwa dengan membangun sarana kebutuhan masyarakat (orang dewasa), pemerintah kota menganggap bahwa kebutuhan anakpun telah terwakili dan terpenuhi dengan sendirinya. Pengabaian pemerintah kota terhadap anak bukan hanya pada kebijakan dan anggaran yang terbatas, tetapi juga pada pelayanan dan penyediaan sarana kota yang berpengaruh pada tumbuh kembang anak.
Perasaan tenang, nyaman, dan aman dengan lingkungan tempat tinggal, lingkungan komuniti, lingkungan sekolah mereka, serta tempat pelayanan kesehatan, merupakan gambaran persepsi anak mengenai lingkungan kota di satu sisi pada kasus Kelurahan Kwitang, sedangkan perasaan terganggu dengan sampah yang menumpuk, saluran pembuangan air kotor yang mampat karena masih adanya warga yang membuang sampah sembarangan, dan jalan-trotoar yang rusak di beberapa titik di lingkungan tersebut merupakan gambaran sisi lainnya. Permukiman yang padat di kelurahan ini adalah kekhawatiran lain bagi anak, jika sewaktu-waktu terjadi kebakaran seperti sebelumnya, sehingga menjadi trauma bagi mereka. Masih pada sisi yang sama, fasilitas pada lingkungan bermain dan pelayanan transportasi, menurut mereka juga belum cukup memenuhi kebutuhan anak.
Tidak semua keluarga informan ini tinggal di rumah yang menjadi milik sendiri, beberapa di antaranya bahkan masih mengontrak. Perasaan nyaman dan tenang, ada pada anak dengan rumah tinggal yang jelas status kepemilikannya (milik pribadi), berbeda dengan anak dari keluarga yang mengontrak atau menumpang di rumah kakek/nenek yang mulai khawatir ketika masa kontraknya selesai dan mereka harus pindah. Mempunyai akses ke sumber air bersih, sistem pembuangan sampah, saluran pembuangan air kotor, jaringan listrik dan telepon adalah hal lain yang mendatangkan rasa tenang dan nyaman berada di rumah yang mereka tinggali.
Di mata anak, kekurang-disiplinan warga dalam menjaga kebersihan lingkungan terutama mengenai sampah dan saluran air kotor mengganggu pemandangan dan membuat polusi.
Penerapan sistem ronda siskamling (Sistem Keamanan Lingkungan), adanya pos kamling, dan lampu penerangan jalan yang cukup membuat anak-anak Kwitang merasa aman dengan lingkungan mereka.
Rusaknya ruas jalan di beberapa bagian dan trotoar di beberapa titik hingga beralih fungsinya tempat ini menjadi tempat usaha bagi pedagang kaki lima, dianggap anak mengganggu karena bisa membuat pejalan kaki terperosok, terjatuh, atau bahkan terserempet kendaraan.
Gedung sekolah yang kokoh, berhalaman luas, dan berpagar besi, membuat anak-anak ini merasa tenang bersekolah. Bentuk gedung yang bertingkat mereka ungkapkan sebagai satu ketidaknyaman untuk berinteraksi dengan teman mereka di lantai yang lain, karena mereka enggan untuk naik atau turun.
Ruang terbuka belum menjadi prioritas pemerintah kota dalam pembangunan kota. Hal ini teridentifikasi oleh anak-anak Kwitang bahwa, mereka tidak mempunyai tempat bermain aktif yang aman dan nyaman. Jalan, taman (Tugu Pak Tani), bantaran kali (Kali Ciliwung), halaman sekolah, tempat parkir, dan tanah kosong adalah tempat-tempat favorit yang mereka manfaatkan sebagai tempat bermain. Syarat keselamatan, jauh dari tempat tinggal dan pantauan orang-tua/orang dewasa tidak menjadi pertimbangan mereka.
Demikian juga halnya dalam bidang transportasi. Rasa aman dan nyaman menggunakan jasa transportasi seperti bus dan kereta api ketika bepergian, belum mereka rasakan sepenuhnya. Kondisi kendaraan yang kurang baik, seperti coretan di dinding, bangku rusak, sampah berserakan, panas, berbau dan berdiri berdesakkan mereka deskripsikan sebagai ketidaknyaman berkendaraan. Cerita mengenai adanya copet membuat kekhawatiran mereka bertambah. Bus yang selalu tergesa-gesa ketika menurunkan penumpang, berhenti secara mendadak, penumpang yang terjatuh atau terantuk besi karenanya, sopir dan kernet yang kerap berperilaku kasar terhadap penumpang diungkapkan anak sebagai hal yang menakutkan ketika naik bus kota. Hal yang kurang lebih sama juga mereka rasakan di kereta api. Jatuh, tertindih atau terpisah dengan orangtua sehingga tidak bisa kembali ke rumah adalah hal yang menakutkan mereka naik kereta api.
Penyakit diare, infeksi saluran pernapasan atas, dan penyakit kulit adalah penyakit yang umumnya diderita anak-anak ini. Penyakit-penyakit tersebut erat kaitannya dengan resiko lingkungan air yang kurang bersih, makanan yang kurang higienis, sanitasi yang buruk, dan polusi udara di lingkungan tempat tinggal, tempat belajar, dan bermain.

Kota yang Mereka Inginkan
Kota yang diinginkan oleh anak adalah kota yang menghormati hak-hak anak yang diwujudkan dengan (Innocenti Digest No.10/10/02:22):
1. menyediakan akses pelayanan kesehatan, pendidikan, air bersih, sanitasi yang sehat dan bebas dari pencemaran lingkungan;
2. menyediakan kebijakan dan anggaran khusus untuk anak;
3. menyediakan lingkungan yang aman dan nyaman, sehingga memungkinkan anak dapat berkembang. Anak dapat berekreasi, belajar, berinteraksi sosial, berkembang psikososial dan ekspresi budayanya;
4. keseimbangan di bidang sosial, ekonomi, dan terlindungi dari pengaruh kerusakan lingkungan dan bencana alam;
5. memberikan perhatian khusus kepada anak seperti yang tinggal dan bekerja di jalan, eksploitasi seksual, hidup dengan kecacatan atau tanpa dukungan orang tua; dan
6. adanya wadah bagi anak-anak untuk berperan serta dalam pembuatan keputusan yang berpengaruh langsung pada kehidupan mereka.
Lebih khusus, apabila merujuk pada Konvensi Hak Anak, bahwa anak (Save the Children, 1996:13-15):
1. mempunyai hak untuk tempat tinggal – pasal 27 menegaskan hak setiap anak atas kehidupan untuk pengembangan fisik, mental, spritual, dan moral. Untuk itu orang tua bertanggung jawab mengupayakan kondisi kehidupan yang diperlukan untuk mengembangkan anak sesuai dengan kemampuan. Kondisi seperti ini sangat berbeda yang dialami oleh anak jalanan yang tidak mempunyai tempat tinggal dan terputus dengan orang tua;
2. mempunyai hak untuk mendapatkan keleluasaan pribadi – tempat tinggal padat dan tumpang tindih di kota menjadikan anak merasa terganggu keleluasaan pribadinya. Kondisi seperti ini banyak dialami oleh anak-anak yang berasal dari keluarga miskin di kota, sehingga dampaknya adalah perasaan tertekan dan ketegangan pada diri anak. Keadaan ini dapat kurangi bila orang tua peduli terhadap keluarganya. Perumahan padat dapat menjadi salah satu faktor dalam perlakuan buruk terhadap anak atau kekejaman dan perlakuan salah secara seksual;
3. mempunyai hak untuk mendapatkan rasa aman – keamanan fisik dan psikososial merupakan hal penting bagi anak yang ada di kota. Lemahnya penegakan hukum, meluasnya kekejaman dan kejahatan mempunyai dampak yang kuat terhadap anak dan remaja;
4. mempunyai hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat – sanitasi buruk, kurangnya air bersih, kurangnya fasilitas toilet, dan banyaknya sampah memberi dampak yang serius terhadap kesehatan anak. Kondisi kota seperti ini menghadapi masalah serius terhadap tumbuh kembang anak, karena mereka muda terjangkit penyakit cacar, diare, ISPA, TBC, dan penyakit lain yang sering dialami oleh warga yang tinggal di wilayah kumuh;
5. mempunyai hak untuk bermain – ini artinya tersedia areal hijau dan ruang terbuka untuk bermain. Lokasi tempat bermain dengan rumah khususnya untuk anak kecil dan anak dengan kecacatan;
6. mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan – setiap anak mempunyai hak dan kesempatan yang sama memperoleh pendidikan, sehingga perlu mendapat perhatian pemerintah kota kepada anak-anak yang tinggal di tempat illegal, karena tempat mereka tidak dilengkapi sekolah, begitu juga dengan anak yang ada di wilayah kumuh biasanya kualitas sekolahnya sangat buruk;
7. mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan transportasi umum – mengakses tranportasi umum yang baik untuk semua merupakan hal yang esensial. Untuk memenuhi hak anak, bagaimana pun transportasi yang aman adalah berjalan kaki, naik sepeda atau mengakses transportasi yang tidak menghasilkan polusi; dan ramah anak.


BAGAIMANA MEWUJUDKAN KOTA RAMAH ANAK?
Kemitraan

Pada intinya pemerintah kota dapat berperan penting dalam merealisasikan Konvensi Hak Anak dan konsep Kota Ramah Anak. Hal ini dapat terwujud melalui suatu kemitraan yang seluas-luasnya dengan melibatkan semua pihak yang ada di kota. Kemitraan dapat dibangun dengan melibatkan sektor swasta, tokoh masyarakat, tokoh adat, pemerintah kota dari masing-masing departemen atau sektor, lembaga non pemerintah, dan masyarakat sipil.
Kemitraan yang terbangun dapat saling berintegrasi dan bersinergi menjadi suatu kesatuan yang saling mengisi dan membutuhkan satu dengan lainnya. Kemitraan ini menurut the International Union of Local Authorites membentuk suatu lingkaran projek dengan proses perencanaan dan pelaksanaan melalui fase. Fase yang dimaksud seperti terlihat pada gambar berikut (IULA&UNICEF, 2001:6 ):


Mobilisasi dan pengumpulan
data
Analisis situasi dan permasalahan
program dan perencanaan
Pelaksanaan dan monitoring
Evaluasi dan
refleksi

Kebijakan dan Anggaran
Kendala utama dalam mewujudkan konsep Kota Ramah Anak adalah kurangnya kebijakan dan terbatasnya anggaran pembangunan untuk anak. Keberhasilan kota-kota di Philippines dalam mengadopsi konsep Kota Ramah Anak adalah karena adanya inisiatif dan komitmen dari pemerintah kota yang tergabung dalam liga kota, disamping kuatnya organisasi dan peran serta komuniti. Keadaan serupa terjadi di Australia dan India. Penerapan konsep Kota Ramah Anak di kedua negara ini didukung oleh undang-undang. Sedangkan di kota Poerto Alegre, Brazil, konsep ini mudah diterima, karena ada dukungan dana untuk pelayanan dasar kesehatan dari pemerintah, yakni dengan dilibatkannya warga kota termasuk anak, untuk berperan serta dalam penyusunan anggaran. Jadi tidak mengherankan kalau kemajuan yang dicapai oleh Poerto Alegre dalam menurunkan angka kematian bayi menjadi suatu prestasi, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Pemerintah kota harus didukung oleh kebijakan dan anggaran. Untuk mewujudkan hal ini dibutuhkan dukungan dan dorongan dari semua pihak, untuk mendesak pembuatan kebijakan dan peningkatan anggaran untuk anak.

Peran
Seperti pada uraian sebelumnya, kita dapat mengidentifikasi peran apa yang dapat dilakukan oleh setiap individu dan institusi yang ada di perkotaan untuk mewujudkan konsep Kota Ramah Anak. Peran yang dimaksud harus sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dimiliki oleh setiap individu dan atau institusi. Legislatif berperan dalam kebijakan; eksekutif berperan dalam perencanaan, anggaran, pelaksanaan, monitoring, evaluasi, dan peninjauan kembali kebijakan; pihak swasta memberikan konsesi dan dana tanggung jawab sosial; lembaga non pemerintah berperan dalam advokasi kebijakan dan anggaran; dan masyarakat sipil berperan dalam pelaksanaan.

Sosialisasi
Berbagai produk kesepakatan internasional dan kebijakan nasional yang terkait dengan konsep Kota Ramah Anak perlu diketahui oleh pemerintah kota, pihak swasta, lembaga non pemerintah, dan masyarakat sipil. Produk kesepakatan dan kebijakan itu dapat dikelompokan sebagai berikut:
1. Kesepakatan internasional
Berikut ini beberapa kesepakatan internasional yang disepakati oleh pemereintah:
Konvensi Hak Anak (1989);
Agenda 21 (1992);
Beijing Platform for Action (1995);
Agenda Habitat II (1996);
Deklarasi Dakar – pendidikan untuk semua (2000);
A World Fit for Children (2002);
Millennium Development Goal (2001); dan
Plan of Implementation World Summit on Sustainable Development (2002)
2. Kebijakan nasional
Berikut ini kebijakan nasional yang perlu diketahui, antara lain:
Undang Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
Kepres No. 36 tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak;

Kesepakatan dan kebijakan ini dapat dibaca, diketahui, dipahami, dihayati, dan dilaksanakan. Salah satu caranya adalah melalui sosialisasi. Bentuk dan jenis sosialisasi dapat berupa publikasi, seminar, dan penjelasan langsung kepada masyarakat, baik dengan bertatap muka maupun dengan perantara media cetak dan media elektronik.

Komitmen
Pihak-pihak yang terlibat dalam mendorong peran serta untuk mengadopsi konsep Kota Ramah Anak perlu menyusun komitmen-komitmen yang akan menjadi sasaran Kota Ramah Anak. Komitmen yang perlu disusun dan disepakati oleh pemerintah kota, sektor swasta, lembaga non pemerintah, dan masyarakat sipil antara lain:
1. Untuk tujuan bidang kesehatan, yang ingin dicapai adalah:
a. semua anak tercatat pada saat lahir;
b. semua bayi memperoleh Air Susu Ibu eksklusif selama 6 bulan;
c. semua anak memperoleh imunisasi secara utuh – BCG, DPT, tetanus, polio, dan cacar;
d. semua anak memperoleh makanan yang baik;
e. semua anak usia 1-5 tahun memperoleh Vitamin A dua kali dalam setahun;
2. Untuk tujuan bidang kesehatan ibu hamil, yang ingin dicapai adalah:
a. semua kelahiran memperoleh pelatihan oleh tenaga ahli;
b. semua wanita hamil memperoleh semua pemeriksaan kesehatan;
c. semua wanita hamil memperoleh imunisasi tetanus;
d. semua wanita hamil memperoleh Vitamin A dan zat besi;
e. semua wanita hamil mendapat pelayanan darurat;
3. Untuk tujuan bidang pendidikan, yang ingin dicapai:
a. semua anak usia 3-5 tahun memperoleh program pendidikan usia dini;
b. semua anak usia 6-17 tahun dapat bersekolah;
c. semua anak lulus di pendidikan dasar dan menengah pertama;
d. semua anak yang putus sekolah diberikan pendidikan alternatif;
e. semua orang tua yang buta huruf mendaftar pada program literasi
4. Untuk tujuan bidang perlindungan, yang ingin dicapai:
a. mengapuskan semua bentuk eksploitasi dan pekerjaan yang berbahaya, pelacuran, dan pornografi;
b. semua kasus child abuse (pelecehan) terhapus dari rumah dan komuniti;
5. Untuk tujuan bidang peran serta, yang ingin dicapai:
a. semua anak usia 9-18 tahun peran serta di kegiatan sosial budaya dan pengembangan komuniti
a. adanya wadah bagi anak dapat menyampaikan pendapat dan aspirasi;
b. adanya pertemuan yang teratur dalam penyusunan anggaran dan kebijakan yang terkait dengan kepentingan dan kebutuhan anak.
6. Untuk tujuan kebutuhan keluarga, yang ingin dicapai:
a. semua keluarga mempunyai air minum yang bersih dan aman;
b. semua keluarga hanya menggunakan garam beriodium;
c. semua keluarga menggunakan sanitasi dan WC;
d. semua ayah dan ibu berbagi kepedulian dan membesarkan anak.
7. Untuk tujuan pelayanan transportasi, yang ingin dicapai:
a. transportasi dapat diakses oleh anak, orang tua, dan orang yang hidup dengan kecacatan secara murah dan seimbang;
b. transportasi didesain sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi anak;
c. peningkatan sistem transportasi dengan memperkenalkan tiket terusan;
d. pedestrian dan penyeberangan didesain sesuai kebutuhan anak;
8. Untuk tujuan tempat bermain, yang ingin dicapai:
a. jarak tempat bermain dengan kompleks dekat, misalnya 50 meter dari rumah untuk balita 0-5 tahun;
b. penyediaan fasilitas tempat bermain;
c. pengawasan orang-tua terhadap anak.
d. bersama anak menentukan lokasi dan desain tempat bermain.

Daftar Kepustakaan
Adams, Eillen & Sue Ingham. (1998). Changing Places: Children’s Participation in Environmental Planning. London: The Children’s Society.
Christencen, Pia & Margaret O’Brien (edit.). (2003). Children in the City Home, Neighbourhood and Community. New York & London: Routledge Falmer.
Hendricks, Barbara. (2002) “Child Friendly Environments in the City.” di Brescia: Ordine degli Achitetti.
Innocenti Digest. (No.2-Nov.2002). Poverty and Exclusion Among Urban Children. Florence – Italy: UNICEF Innocenti Research Centre.
IULA&UNICEF. (2001). Partnership to Create Child Friendly City: Programming for Child Rights with Local Authorities. Italy: UNICEF Innocenti Research Centre
Patilima, Hamid. (2004). Persepsi Anak Mengenai Lingkungan Kota – Studi Kasus Di Kelurahan Kwitan, Jakarta Pusat. (Tesis). Jakarta: Kajian Pengembangan Perkotaan, Pascasarjana Universitas Indonesia
Save the Children. (1996). Children on Their Housing. Swedia: Radda Barnen.