Pembangunan di Kota Tidak Menyisakan Lahan Bermain

oleh: Posman sianturi


Anak-anak Bermain di atas jembatan karena tidak adanya sarana bermain
"Anak seperti burung kenari di tambang batu bara. Mereka kecil, rentan, dan butuh perlindungan. Akan tetapi sebagian besar dari jutaan anak yang hidup di kota belum merasa aman, tenang dan nyaman melakukan kegiatan sehari-hari seperti bersekolah, bermain dan berkreasi. Terutama mereka yang tinggal di daerah kumuh dan permukiman liar yang padat dan perumahan yang kurang sehat. Serta, kurang mendapatkan pelayanan umum seperti fasilitas air bersih, sanitasi dan pembuangan sampah."
Kalimat-kalimat di atas dikutip dari pernyataan seorang perancang kota dari Amerika Serikat (AS) David Sucher (David, 1995:65) yang disampaikan Drs Hamid Patilima MSiP dari Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) dalam seminar "Kota Ramah Anak" yang diselenggarakan YKAI dan Universitas Bina Nusantara serta Yayasan Pelangi, pekan ini di Jakarta.
Anak merupakan bagian dari warga kota. Lembaga Donor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) mencatat, 43 persen atau 33.586.440 jiwa penduduk Indonesia berusia kurang dari 18 tahun (tergolong anak) bertempat tinggal di perkotaan. Termasuk anak berusia kurang dari 5 tahun sebanyak 9.318.960 (Unicef, 2004). Angka ini akan bertambah dengan kecepatan pertumbuhan 4,3 persen per tahun. Diperkirakan pada tahun 2025 ada 60 persen warga kota adalah anak.
Namun pada kenyataannya, kebijakan dan anggaran pemerintah kota belum memprioritaskan anak. Terbukti dari keterbatasan akses ke pelayanan kebutuhan dasar anak seperti kesehatan, pendidikan, bermain, rekreasi, kenyamanan menggunakan jalan dan pedestrian.
Bukti lainnya diutarakan Fitriani F Syahrul Psi Msi yang sehari-hari menjabat sebagai Manajer Divisi Pelayanan Psikologis di Lentera Insan. Menurut dia, pada kenyataannya kota-kota di Indonesia termasuk Jakarta, masih jauh dari sikap dan harapan tentang kota yang ramah pada anak. Betapa tidak, ujarnya, secara fisik pembangunan di kota didominasi pertokoan, mal, serta perumahan.
Pohon-pohon tumbuh seadanya. Kalaupun ada, lebih diutamakan di jalan-jalan utama. Pabrik-pabrik yang juga banyak di perkotaan sering menimbulkan polusi udara dan air. Selain itu, perumahan-perumahan yang dibangun lebih mementingkan aspek keindahan arsitektur dan efisiensi lahan bangunan rumah daripada lahan bermain yang memadai bagi anak. Sampah pun tampak berserakan di banyak tempat, apalagi di sungai/kali. Anak-anak sulit menemukan lahan bermain yang cukup luas dan segar. Kondisi semacam itu bisa dipersepsikan anak sebagai sesuatu yang menyesakkan. Ketika itu mereka tidak merasa nyaman untuk bermain dan belajar serta berinteraksi sosial. Mereka cenderung memilih kegiatan yang tidak banyak melibatkan aktivitas fisik dan individual, seperti bermain play station.
Padahal, kata Fitriani, di masa pertumbuhan seorang anak memerlukan banyak aktivitas fisik motorik untuk tumbuh kembang otot tulang dan penanaman rasa percaya dirinya. Tidak hanya itu, melalui interaksi sosial anak belajar atau mengembangkan kosa kata, saling mendengarkan, toleransi, empati, dan mempelajari berbagai nilai kehidupan.
Dominasi pembangunan pertokoan ( ditambah maraknya tayangan iklan di televisi) memperkuat dugaan munculnya sikap konsumerisme pada anak. "Pembangunan kota yang tidak seimbang dan menimbulkan polusi udara, air, dan pada gilirannya polusi pada bahan makanan diduga menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya gangguan autis pada anak, "katanya.
Autisme adalah suatu gangguan pada mental dan perilaku anak, di mana seorang anak sulit berbicara, berinteraksi dan sulit berprestasi optimal. Walaupun polusi bukanlah satu-satunya faktor penyebab dan belum terbukti signifikan dari suatu penelitian, namun dari beberapa kasus anak penyandang autis diketahui bahwa pada rambut mereka terdapat kandungan logam yang lebih daripada anak normal. Jumlah anak penyandang autis dari tahun ke tahun meningkat.


Komitmen Global
Padahal, pada United Nations Special Session on Children pada Mei 2002 lalu, para wali kota sudah menegaskan komitmennya untuk aktif menyuarakan hak anak dan mewujudkan kota yang aman dan nyaman. Wujud kota yang dimaksud, adalah kota ramah anak. Pada pertemuan itu para wali kota merekomendasikan kepada wali kota di seluruh dunia untuk mengembangkan rencana aksi untuk kota mereka menjadi kota ramah dan melindungi hak anak, mempromosikan peran serta anak sebagai aktor dalam proses pembuatan keputusan di kota mereka, terutama dalam proses pelaksanaan dan evaluasi kebijakan pemerintah kota.
Gagasan kota ramah anak sebenarnya diawali dengan penelitian " Children's Perception of the Enviroment" oleh Kevin Lynch (seorang arsitek dari Massachusetts Institute of Technology) di empat kota -Melbourne, Warsawa, Salta dan Mexico City- pada sekitar tahun 1971 sampai 1975.
Hasil penelitian menunjukkan, lingkungan kota yang terbaik untuk anak adalah yang mempunyai komunitas yang kuat secara fisik dan sosial, komuniti yang mempunyai aturan yang jelas dan tegas, yang memberi kesempatan pada anak, dan fasilitas pendidikan yang memberi kesempatan bagi anak untuk mempelajari dan menyelidiki lingkungan dan dunia mereka.
Kota dengan konsep kota ramah anak sudah diwujudkan di berbagai negara. Seperti Filipina yang memperkenalkan Program Kota Ramah Anak di 20 Provinsi dan lima kota yakni, Pasay City, Manila, Quezon City, Cebu City, dan Davao City pada tahun 1999.
Di Australia, Queensland merupakan salah satu kota yang telah mengadopsi konsep kota ramah anak. Pemerintah Queensland membentuk komisi anak dan remaja pada tahun 2000. Komisi itu mempromosikan komuniti ramah anak melaalui fungsi utama yang sesuai dengan Undang-undang Komisi Anak dan Remaja.
Di India, Kota Kalkuta telah mengadopsi konsep kota ramah anak, yang berfokus pada Program Aksi tingkat kota untuk anak jalanan dan pekerja anak. Di Bangladesh, kota ramah anak diaplikasikan di Kota Rajashahi dan di Brasil di Kota Porto Alegre.
Lalu, bagaimana dengan di Indonesia (Jakarta)? Penelitian yang dilakukan Hamid tentang " Persepsi Anak Mengenai Lingkungan Kota -Studi Kasus di Kelurahan Kwitang, Jakarta Pusat" tahun 2004 memperlihatkan, pemerintah kota menganggap bahwa kebutuhan anak sudah terwakili dan terpenuhi dengan sendirinya bila membangun sarana kebutuhan masyarakat (orang dewasa).
Perasaan tenang, nyaman dan aman dengan lingkungan tempat tinggal, merupakan persepsi anak mengenai lingkungan kota. Tetapi di sisi lain ada perasaan terganggu dengan sampah yang menumpuk, saluran pembuangan air kotor yang tidak lancar, jalan dan trotoar yang rusak.
Pemukiman yang padat di kelurahan ini adalah kekhawatiran lain bagi anak jika sewaktu-waktu terjadi kebakaran seperti sebelumnya, sehingga menjadi trauma bagi mereka. Fasilitas pada lingkungan bermain dan pelayanan transportasi masih kurang menurut mereka dan juga belum mencukupi kebutuhannya.
"Penyakit diare, infeksi saluran pernapasan atas, dan penyakit kulit adalah penyakit umum yang diderita anak-anak di Kwitang. Penyakit ini erat kaitannya dengan risiko lingkungan air yang kurang bersih, makanan yang kurang higienis, sanitasi buruk, polusi udara di sekitar tempat tinggal, di tempat belajar dan tempat bermain," papar Hamid.

ruang terbuka yang cukup aman dan nyaman bagi anak-anak yang bertempat tinggal di kota-kota besar saat ini lebih mirip barang kebutuhan mewah. Sangat mahal dan sulit diperoleh.
Hal ini disebabkan rendahnya perhatian pemerintah dan perencanaan kota terhadap kebutuhan ruang yang aman dan nyaman bagi anak-anak. Padahal, ketersediaan ruang terbuka yang dapat dipergunakan anak-anak untuk bermain dan beraktivitas merupakan hak dasar anak yang harus dipenuhi.
Menurut Ir JF Bobby Saragih dari Jurusan Arsitektur Universitas Bina Nusantara, pada dasarnya pembangunan kota didasarkan pada proses perencanaan kota, yang pada awalnya bertujuan menyejahterahkan masyarakat.
Namun dalam pelaksanaannya banyak hal yang sering tidak sesuai dengan perencanaan. Oleh sebab itu tidak salah bila sebagian masyarakat berpendapat bahwa perkembangan kota saat ini umumnya sering menimbulkan masalah. Satu di antaranya ditandai dengan semakin banyak masyarakat dari golongan atas yang tinggal di pinggiran kota.
Hal itulah yang membuat arus lalu lintas pada jam-jam tertentu padat sehingga menimbulkan kemacetan lalu lintas, polusi udara dan kebisingan. Selain itu, katanya, perubahan fungsi lahan juga terjadi. Hal ini tercermin dari semakin minimnya lahan-lahan terbuka, yang tadinya berfungsi sebagai ruang terbuka.
Akibat dari keterbatasan lahan itu, maka pemerintah dan sebagian masyarakat mengakuisisi lahan-lahan terbuka yang berfungsi sebagai fasilitas umum menjadi lahan terbangun. Seperti di DKI Jakarta, contohnya, luas ruang terbuka hijau 25,85 persen.
Sementara seiring dengan perjalanan waktu, mengacu pada Perda Nomor 6/1999, ruang terbuka hijau hanya tersisa 13,94 persen. "Data ini menunjukkan bahwa isu tentang semakin minimnya ruang terbuka di tengah kota akibat perubahan fungsi bukan isapan jempol semata. Perubahan fungsi mempunyai dampak pada banyak hal, diantaranya semakin minimnya tempat bermain bagi anak-anak," ujar Saragih.
Sedemikian pentingnya bermain untuk anak, pemerintah mengakomodirnya di dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 11 pada undang-undang itu mengatur bahwa setiap anak berhak beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri. Pemerintah pun, katanya, sudah membuat standar minimal luas terbuka yang harus dipenuhi berdasarkan lokasi pemukiman.
Tetapi pada kenyataannya berdasarkan pengamatan yang dilakukan di beberapa perumahan formal, umumnya tempat bermain anak hanya disediakan pada tingkat RW. Tempat bermain tersebut umumnya digabung dengan beberapa fasilitas lain. Penggabungan ini menimbulkan banyak masalah dan biasanya sebagaimana hukum rimba, maka yang lemah yang kalah. Dalam hal ini anak selalu dalam posisi yang kalah.

Kota Sehat
Hal lain yang menjadi permasalahan dalam mewujudkan kota ramah anak adalah masalah transportasi. Peneliti transportasi Andi Rahmah menjelaskan, kota dengan sistem transportasi kota yang tidak mampu mengakomodir kebutuhan kota akan membuat kota itu tidak menarik. Baik sebagai tempat usaha maupun sebagai tempat bermasyarakat.
Menurutnya, faktor utama dari keberhasilan pembangunan sistem transportasi ramah anak adalah sinergi dari beberapa penerapan strategi yang dilakukan untuk membangun jaringan jalan yang aman dan nyaman bagi anak-anak.
Beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk menciptakan sistem transportasi ramah anak antara lain pembangunan jaringan jalur khusus pengendara sepeda, penurunan kecepatan kendaraan pada jalan-jalan lingkungan di kompleks perumahan/wilayah pemukiman penduduk, penanaman pohon peneduh di sepanjang ruas jalan, menutup ruas jalan di daerah permukiman pada jam-jam tertentu.
"Menciptakan sistem transportasi yang ramah bagi masyarakat memang menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah. Namun bukan berarti masyarakat tidak dapat berperan dalam upaya ini. Sebaliknya pada tataran tertentu peran masyarakat justru bisa lebih dominan," kata Rahmah.
Berdasarkan Unicef Innocent Research Centre, kota ramah anak adalah kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Ini berarti anak mengekspresikan pendapat mereka tentang kota yang mereka inginkan, mendapatkan air minum segar dan mempunyai akses terhadap sanitasi yang baik, terlindungi dari eksploitasi, kekejaman, aman berjalan di jalan, hidup di lingkungan yang bebas polusi.
Hal-hal itu tampaknya tercakup pada kota sehat. Seperti yang diutarakan dr Purnawan Junadi MPH PhD, bahwa kota sehat adalah suatu tempat yang anak-anak dapat berkembang baik (badan dan mentalnya), lingkungan yang mengundang belajar dan bersenang-senang. Serta, orang bisa bekerja dan menjadi tua secara terhormat.
Menurut dia ada beberapa ciri kota sehat untuk anak. Diantaranya aman dan bersih, pembuangan limbah efisien, fasilitas rekreasi dan permainan yang mendorong untuk saling berkomunikasi, tidak ada perbedaan seseorang berdasarkan agama dan suku serta kepercayaannya. Penyediaan makanan, air dan energi yang efisien, mempunyai komunitas yang suportif dan berbagai organisasi yang bekerja sama meningkatkan kesejahteraan. Selain itu, tersedia pelayanan kesehatan dan pendidikan yang selalu diperbaiki.
Untuk mengembangkan kota sehat perlu integrasi berbagai elemen kota, yang mencakup sekolah, tempat bekerja, pasar dan fasilitas pelayanan kesehatan. Mengembangkan kota sehat bisa ditempuh dengan memfokuskan pada suatu masalah kesehatan sebagai pintu masuk untuk kegiatan promosi seperti kebugaran, latihan dan rekreasi, diet sehat, pencegahan narkoba, pengendalian merokok, kesehatan mental, olah raga.
"Sehat lebih dari sekadar tidak sakit. Sehat adalah kondisi lengkap sejahtera fisik mental dan sosial. Ini adalah perasaan gembira terhadap dirimu sendiri, lingkunganmu dan kotamu," tutur Purnawan.
Konsep kota ramah anak sudah diadopsi oleh beberapa kota di dunia ini. Apakah hal ini bisa diwujudkan di negeri ini? Di Indonesia, untuk merealisasikan kota tersebut perlu kemitraan yang luas dengan menyertakan semua pihak yang ada di kota, tersedia kebijakan dan anggaran pembangunan khusus untuk anak, setiap individu dan institusi yang ada di kota berperan sesuai kemampuan dan keahliannya, dan pihak-pihak terkait perlu menyusun komitmen yang akan menjadi sasaran kota ramah anak. Tak kalah perlu adalah sosialisasi berbagai produk kesepakatan internasional dan kebijakan nasional yang terkait dengan konsep kota ramah anak. (N-4)